- Category: OPINION
- Published on Wednesday, 18 November 2015 10:56
- Written by Marketing, Events & External Relations
- Hits: 10411
-

-

Nama saya Riski utama putriani, saya salah satu guru di SMAN Sumatera Selatan, yang mengajar Ekonomi dan Kewirausahaan untuk kelas XI dan XII. Selain menjadi guru, saya juga bertanggung jawab sebagai pembina koperasi siswa dan kewirausahaan, dan juga sebagai pembina PMR.
Mungkin, sebagian orang banyak yang heran dan kaget, “kok guru dibidang sosial menjadi pembina PMR??, gak nyambung banget..”.
Jujur, dari kecil saya memang suka pelajaran yang eksak dibidang sosial, selain itu juga cita-cita saya dulu adalah menjadi seorang dokter. Tapi sejak SMA kelas X semester 2, saya pun mulai goyah dengan cita-cita saya untuk menjadi seorang dokter, karena saya sangat termotivasi oleh guru Sosiologi saya untuk masuk di jurusan IPS. Awalnya sempat ragu dalam memilih jurusan, tapi pada akhirnya saya memilih IPS. Meskipun saya masuk jurusan IPS, saya tetap suka dengan pelajaran eksak, dan juga saya tetap ikut Club PMR, yang seharusnya itu bukan untuk jurusan saya.
Selain saya senang pelajaran eksak, ada satu lagi yang sangat saya minati, yaitu pelajaran bahasa asing. Tapi bukan Bahasa Inggris yang saya gemari, melainkan bahasa Jepang dan bahasa Arab. Kalau bahasa arab, saya sudah belajar sejak saya masih duduk di kelas tiga SD, sedangkan bahasa Jepang, sejak saya duduk di bangku SMA.

Pada saat saya kelas XII SMA, saya mengalami kebingungan lagi, saya bingung dalam hal memilih jurusan untuk kuliah. Guru saya ada yang menyarankan saya untuk mengikuti program IPC, ada juga yang menyuruh saya untuk mengambil Akuntansi/Ekonomi murni, dan yang terakhir guru bahasa Jepang saya menyarankan saya untuk mengambil jurusan bahasa Jepang.
Jujur, dari ketiga pilihan tersebut, jurusan bahasa Jepang lah yang ingin saya ambil. Akan tetapi, saya mengalami kendala. Kali ini kendalanya adalah orang tua saya. Mereka tidak menyarankan sama sekali kepada saya untuk mengambil jurusan tersebut. Mereka menyetujui saya untuk ikut IPC, yakni mengambil jurusan dibidang kesehatan, atau mengambil jurusan kependidikan. Itu semua jurusan yang sama sekali tidak saya sukai. Memang saya suka di bidang kesehatan, tapi saya tidak percaya diri, karena saya harus belajar lebih ekstra lagi pada saat kuliah nanti, sedangkan untuk bahasa Jepang, saya sudah belajar selama tiga tahun, dan itu cukup untuk menjadi modal awal saya.
Singkat cerita, karena jurusan saya tetap di tentang oleh orang tua saya, akhirnya sayapun mengikuti salah satu kemauan mereka, yakni mengambil jurusan pendidikan. Jurusan pendidikan yang diambil yaitu jurusan pendidikan ekonomi akuntansi, yang sangat bertentangan dengan saya, karena saya tidak mau menjadi guru.
Selama saya kuliah, saya masih belum sadar, dan masih saja menginginkan jurusan yang ingin saya ambil di waktu SMA. Saya tidak terbayang, bahwa saya akan menjadi seorang guru. Pada saat di sidang pun, saya kaget ketika dosen menyebutkan “Selamat, kalian sudah resmi menjadi Sarjana Pendidikan atau S. Pd,”, terus saya dengan tidak sadar bilang sama dosen saya, “Kok S. Pd. Pak gelarnya??”, terus mereka jawab, “memangnya kamu mau gelarnya apa??”, saya Cuma terdiam, dan merenung, “Ok, mungkin ini yang terbaik buat saya”.
Dua hari setelah sidang, saya dipanggil oleh admin jurusan dan diberitahu bahwa sedang ada lowongan kerja guru Ekonomi di SMAN Sumatera Selatan, dan saya diminta untuk mengirimkan lamaran ke SMAN Sumatera Selatan. Awalnya saya tidak percaya diri dan mengira tidak akan diterima, karena saingan saya jauh lebih baik dan berpengalaman dari pada saya, dan juga sudah punya basic menjadi seorang guru, sedangkan saya tidak mau menjadi guru.
Saya ingat, ketika saya di interview, saya ditanya oleh Kepala SMAN Suamatera Selatan, dengan pertanyaan pertama yakni “Mengapa kamu mau menjadi guru?”, saya sangat kaget dan bingung, waduh kok pertanyaannya itu, saya harus jawab apa??, dengan ekspresi serius dan tampang meyakinkan, saya menjawab bahwa saya suka tantangan, menjadi seorang guru bukan hal yang mudah, dengan menjadi seorang guru, maka saya akan mendapatkan pengalaman dan wawasan baru, bisa meningkatkan dan mengembangkan kemampuan saya, selain itu juga sebagai ibadah saya kepada ALLAH. Dan tidak disangka, akhirnya saya diterima di SMAN Sumatera Selatan, menjadi seorang guru Ekonomi dan Kewirausahaan.
Pada saat Teacher Orientation, semua guru wajib memilih Club yang ada disekolah untuk menjadi pembina dari Club yang ada. Jujur, saya waktu itu memilih menjadi pembina Club Rohis. Tapi, berhubung Club PMR tidak ada yang memilih, saya diminta oleh Officer Club untuk menjadi pembina Club PMR. Awalnya saya keberatan, tapi akhirnya saya diterima meskipun tidak yakin bisa maksimal, karena ilmu yang saya pelajari waktu saya ikut PMR di SMA sudah banyak yang lupa.
Dan ditahun kedua saya mengajar di SMAN Sumatera Selatan, saya memilih untuk menjadi pembina club KIR (Karya Ilmiah Remaja) untuk bidang sosial, tapi saya diminta lagi untuk menjadi pembina club PMR, lagi-lagi saya menolak dan tidak mau, karena alasan saya ingin fokus dibidang karya ilmiah. Selanjutnya, ketika saya mengajar kelas tambhana di kelas XII Social, tiba-tiba Kepala SMAN Sumatera Selatan memanggil saya, dan dia bertanya sama saya, “Ibu pembina PMR kan?”, saya jawab “Tidak lagi pak, sekarang saya milih untuk menjadi pembina Club KIR pak, ada apa ya pak memangnya?”, lalu beliau bilang, “kira-kira siapa bu yang bisa menjadi pembina club PMR, yang mengetahui mengenai kegiatan dan materi mengenai PMR??”, lalu saya jawab, “Sepertinya bu Febri pak, beliau juga dulunya pada saat SMA juga ikut club PMR.” “O ya sudah bu, nanti akan saya pikirkan lagi”. Terus saya tanya lagi, “memangnya ada apa pak?”, dan beliaupun menjawab, “gak apa-apa bu, tadi saya diminta oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi untuk mengirimkan dua orang siswa dan satu guru pembina PMR untuk mengikuti program pertukaran palang merah, memang belum pasti bu soalnya bakalan diseleksi terlebih dahulu di pusatnya nanti.”, dan kemudian saya pun jawab, “O iya sudah pak, sepertinya bu febri yang cocok pak”. Dan ketika pada saat rdi sore harinya, Kepala SMAN Sumatera Selatan mengumumkan bahwa, bakalan ada dua orang siswa dan satu orang guru yang akan ikut pertukaran palang merah ke Jepang, dan gurunya adalah ibu Riski Utama Putriani. Disitu, saya merasa kaget dan tidak percaya, “Ah gak mungkin, kayaknya salah sebut nama guru, bukan saya”. Dan benar-benar kaget, ketika saya di minta untuk membuat CV dan mengirimkannya melalui email ke Markas PMI kota dan Pusat. Tidak lama kemudian, saya diminta mengurus berkas yang lainnya, seperti Paspor, Visa, bahan Presentasi, movie maker, dan lain sebagainya untuk keperluan selama mengikuti program Pertukaran palang Merah Ke Jepang (International Exchange Programme Japan Red Cross) selama lima hari, mulai dari 6-10 November 2015.
Ketika akan berangkat ke Jepangpun, saya masih tidak menyangka, kok bisa saya terpilih, tapi saya berpikir, mungkin inilah rencana Allah, dulu saya ingin sekali untuk kuliah di jurusan bahasa Jepang agar bisa ke Jepang, dan akhirnya sekarang saya bisa ke Jepang meskipun saya bukan Sarjana Sastra Bahasa Jepang.
Ketika di Jepang, banyak sekali ilmu dan pelajaran yang saya dapat. Mulai dari kualitas pendidikan dan pengajaran mereka yang sangat berbeda dengan di Indonesia. Kalau dilihat dari segi fasilitas, tidak usah diragukan lagi, dari sistem pembelajaran juga berbeda, dimana siswa bisa langsung praktik setelah pembelajaran materi, dengan demikian ilmu yang baru dipelajari dapat mudah dipahami. Selain itu juga dibidang PMRnya sendiri, ada beberapa pembelajaran yang berbeda, seperti dalam hal pembuatan dan pengangkatan tandu, kemudian dari persiapan siaga bencana, dan juga dari segi pakaian. Dimana dalam pengangkatan tandu mereka lebih melibatkan banyak orang, sedangkan di Indonesia Cuma butuh empat orang. Untuk persiapan siaga bencana, mereka sudah membuat berbagai makanan instan praktis yang mereka produksi sendiri. Sehingga ketika mereka terjun ke lapangan, mereka bisa dengan mudah untuk menyiapkan bekal mereka selama bekerja di lapangan, dan untuk seragam, seragam mereka kalau di Indonesia mirip dengan seragam pemadam kebakaran tapi dimodif lebih modern lagi. Untuk aktifitas pembelajaran, mereka mulai belajar dari hari senin-jumat, dimana jama pembelajaran mereka dimulai pukul 08.30-15.30. sedangkan untuk hari sabtu-minggu mereka libur. Kalau dilihat dari sikap, mereka sangat disiplin, tepat waktu, bertanggung jawab, dan peduli dengan kebersihan. Mereka memiliki rasa kepedulian yang sangat tinggi, dan ketika dijalan raya, mereka sangat mematuhi rambu-rambu dan aturan yang ada, meskipun tidak ada polisi dan sepi, mereka tetap taat dengan aturan, tanpa harus diingatkan, sangat berbeda dengan Indonesia.
Ketika mereka menggunakan toliet, mereka harus menjaga kebersihan toliet dan menjaganya tetap kering, dan juga ketika mebuang sampah, mereka meletakkannya sesuai dengan pengelompokkannya masing-masing, sehingga memudahkan untuk proses daur ulang.
Dan juga ketika saya home stay bersama house family, mereka sangat baik dan peduli dengan tamunya, akan tetapi selama tinggal disana saya diajarkan dan mengikuti aturan dan budaya yang mereka terapkan sehari-hari, mulai dari cara masuk rumah, meletakkan sepatu, makan, mandi, tidur, dan bangun tidur. Semuanya sangat tertata rapi dan tertib, sangat sulit untuk kita membiasakannya karena di Indonesia kita tidak menerapkan budaya seperti itu. Selain itu juga, yang patut dicontoh di Indonesia, anak SD-SMP, mereka wajib berjalan kaki pulang pergi ke sekolah, dan SMA mereka baru boleh menggunakan sepeda dan naik kereta, dan juga mereka hanya boleh menggunakan Handphone yang hanya bisa SMS dan Nelpon saja.
Selanjutnya, pada hari ketiga kami disana, kami dan siswa Jepang yang tergabung dalam kepalang merahan, menampilkan presentasi dan performance mengenai sejarah Palang Merah, kegiatan yang dilakukan dalam kepalang merahan, mengenai budaya, fashion, dan sebagainya. Dari hasil presentasi, SMAN Sumatera Selatan mendapatkan pujian sebagai the best presentation, dan bahasa Inggrisnya juga sangat baik. Selain itu juga dari hasil tayangan presentasi dan sharing session, SMAN Sumatera Selatan menjadi sorotan oleh semua siswa, guru, dan pegawai palang merah Jepang, karena SMAN Sumatera Selatan menurut mereka memiliki keunikan tersendiri, diantayanya: sistem pembelajaran, dimana semua siswa dan guru diwajibkan berkomunikasi dalam bahasa Inggris, jam belajar yang sangat lama perharinya, dan juga ssitem asrama selama tiga tahun.
Dan ketika hari terakhir saya di Jepang, saya dan semua siswa perwakilan Indonesia, diajak jalan-jalan ke salah satu tempat yang terkenal di Tokyo, yaitu Asakusa. Disana kami bisa melihat Tokyo Skytree, Sento Temple, dan Museum. Sebelumnya saya sudah pernah ke Asakusa bersama house family saya. Setelah perjalanan panjang dan lima hari mengikuti program disana, kamipun pulang kembali ke Indonesia dengan mebawa pelajaran dan pengalaman yang sangat berarti bagi kami, dan saya rasa buat kita semua warga Indonesia.
Harapan saya kedepannya, Club PMR khususnya di SMAN Sumatera Selatan dapat lebih baik lagi, dan juga lebih aktif lagi dalam mengikuti kegiatan ke PMRan, dan juga dalam hal kedisiplinan, tanggung jawab, dan nasionalisme patut di contoh oleh semua warga Indonesia. Dan untuk semuanya, jika kalian mempunyai mimpi, jangan takut dan jangan pernah menyerah, harus tetap yakin dengan mimpimu, dan terus berusaha dengans ebaiknya, karena suatu saat mimpi kamu akan menjadi kenyataan.
- Category: OPINION
- Published on Monday, 10 March 2014 02:50
- Written by Marketing, Events & External Relations
- Hits: 9068
-

-


Agus: Flash-back 4 Kesalahan
Sekitar 18 bulan yang lalu, pada tanggal 3 Februari 2014 lalu, SMAN Sumatera Selatan kedatangan 3 orang mahasiswa Sampoerna University, Jakarta. Mereka melaksanakan salah satu kewajiban sebagai mahasiswa tahun ke empat yaitu School Experience Program (SEP) atau umumnya disebut Praktek Kerja Lapangan (PKL) selama 2 bulan. Salah satu dari 3 mahasiswa tersebut adalah saya sendiri, penulis artikel ini. Iya saya.
Bagi saya yang notabennya “orang baru” di SMAN Sumsel ini, 2 Minggu pertama adalah masa beradaptasi terhadap lingkungan. Saya mencari tahu dan menerka-nerka seperti apa SMAN Sumsel & bagaimana saya harus bersikap selama disini supaya dapat menyelesaikan SEP dengan baik. Namun, tak pernah ku sangka, justru di 2 minggu pertama itulah saya melakukan 4 kesalahan.
Sebelum menceritakan 4 kesalahan saya, boleh ya saya memperkenalkan diri terlebih dahulu.
Saya Agus, mahasiswa tingkat akhir Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Sampoerna University. Bersama 2 orang teman, Leni dan Septy, saya disini melaksanakan SEP sekaligus belajar menjadi seorang guru dari para guru dan semua civitas akademika SMAN Sumasel. Menjadi guru adalah passion saya yang berkampung halaman di kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).
Di OKI saya menyelesaikan masa sekolah MI, Mts., SMA dan sejak empat tahun terakhir saya melanjutkan pendidikan S1 di Jakarta. Dengan program Student Financing dari Putra Sampoerna Foundation, Insyallah saya tahun ini akan menamatkan pendidikan S1. Itulah sedikit perkenalan dari saya. Want to know more? Add my Facebook: AguZz Pujakesuma. ^^
Nah, diawal tulisan ini, saya menyebutkan 4 kesalahan saya selama 2 minggu di SMAN Sumsel. Kesalahan yang saya lakukan bukanlah suatu tindakan yang melanggar peraturan sekolah atau pun melanggar etika profesi guru. Saya melakukan kesalahan dalam hal pemikiran atau asumsi saya terhadap lokasi sekolah, para guru, kepala sekolah dan siswa-siswi SMAN Sumsel.

Sebelumnya, saya berfikir bahwa SMAN Sumsel terletak ditengah kota Palembang yang ramai dan terdengar suara bising kendaraan kota berlalu-lalang. Ouch, ternyata itu menjadi kesalahan saya yang pertama. Satu hari sebelum SEP dimulai, saya melakukan survey tempat dan memperkirakan jarak tempuh dari tempat tinggal sementara, Bukit Besar. Sejak hari itu saya tahu asumsi saya terhadap lokasi SMAN salah.
Lokasi SMAN Sumsel sangatlah kondusif untuk kegiatan belajar. Di Jakabaring, tepatnya 10 menit dari Jembatan Ampera, berdiri bangunan megah berpagar tingggi bertuliskan SMAN Sumatera Selatan (Sampoerna Academy). Disana, siapa pun akan merasakan suasana yang tenang dan hening tanpa terganggu suara bising kendaraan kota. Suasana seperti ini, menurut saya, ideal untuk belajar.
Sedikit cerita, Reynold Hutabarat, Pak Rey, begitu saya menyapa beliau, adalah orang pertama yang menyambut dan menanyakan nama saya dan kedua teman dihari pertama SEP. Saat itu beliau menyapa kami, “Hello, let me know your name. What’s your name?”. Lalu kami bertiga memperkenalkan diri. Beliau pun melanjutkan dengan memperkenalkan diri kepada kami. “My name is Rey”. Dalam hati saya merespon, "Ehmm pasti abang-abang ini guru baru. Muda dan sok akrab kayak lagi mencari temen." I am the school principal here." lanjut Pak Rey. Tetooot, itu kesalahan saya yang kedua. Ternyata, Pak Rey, si abang-abang yang ku maksud adalah kepala sekolah. I got wow-ed! Kepala sekolah disini muda banget. Usianya mungkin baru 30 tahun, cuma selisih 8 tahun dengan saya. :)
Tak cukup disana, kesalahan saya pun masih ada lagi. Satu minggu SEP, saya merasa gugup dan asing berada diruangan guru. Saya pun berpikir bahwa para guru diruangan ini individualis, serius sepanjang hari dan membeda-bedakan antara guru dan mahasiswa SEP. Untuk ketiga kalinya praduga itu salah. Sesat.
Para guru disini sangatlah peduli satu sama lain. Mereka pun memperlakukan saya, mahasiswa SEP yang lugu dan polos, dan kedua teman dengan sangat baik dan mengayomi. Apapun yang mereka lakukan, kami selalu diikut sertakan, mulai dari mengajar, kepanitiaan kegiatan sekolah, hingga merayakan hari ulang tahun salah seorang guru, Bu Titik, saya pun mendapat jatah traktiran Mie Ayam. Itu bukti bahwa persepsi saya sebelumnya terhadap mereka salah besar. Besar banget. Bahkan sekarang saya merasa berada ditengah keluarga bersama mereka. So sweet.

Memasuki minggu kedua, kesalahan saya yang keempat terungkap.
Salah satu kegiatan saya selama SEP adalah mengajar. Sebelum mangajar, saya mengira bahwa siswa-siswi SMAN Sumsel adalah pelajar yang aktif. Lagi-lagi saya salah. Setelah mengajar beberapa kelas, ternyata kata “aktif” tidak cukup untuk mendeskripsikan mereka. You know, mereka adalah pelajar yang “super-duper-amazingly-aktif” dikelas. Mereka tidak hanya aktif berfikir (Minds on) tetapi juga Hands on and Hearts on (aktif berkegiatan dan berperilaku dengan baik. Mereka adalah pelajar yang “Hands on, minds on and hearts on”. Serba ON.
Selain didalam kelas, dilingkungan sekolah pun mereka tetap menunjukkan sikap pelajar yang hearts on baik kepada para guru atau pun kepada saya. Saya tidak merasakan sikap deskriminasi dan bullying kepada saya. Setiap kali bertemu tak henti-hentinya mereka menyapa dan memberi senyuman terbaik kepada para guru dan saya. Mereka menunjukkan rasa hormat kepada semua orang dengan baik. Hal ini menyadarkan bahwa saya tidak perlu antisipasi akan sikap bullying terhadap saya, mahasiswa SEP, karena saya yakin mereka tidak akan melakukan itu.
Sebelumnya saya banyak mendapat cerita dari teman disekolah lain bahwa mahasiswa SEP akan mendapat perlakuan deskriminasi dan bahkan bullying dari para pelajar sekolahnya. Namun, itu cerita mereka. Disini, SMAN Sumsel, cerita saya berbeda. Hari demi hari saya jalani SEP ini dengan semangat hands on, minds on and hearts on seperti yang diajarkan oleh semua civitas akademika SMAN Sumsel, baik secara langsung dan tidak langsung, dari perkataan maupun perbuatan agar saya dapat menyelesaikan SEP dengan baik.
Terakhir, kini saya menyadari bahwa wajar saja saya melakukan 4 kesalahan itu karena tempat saya SEP ini adalah sebuah SMA bertaraf internasional, SMAN Sumatera Selatan dengan segala keunggulannya, bukan yang lain. Trust me.

Ini foto saya pertama kali makan siang masakan Catering Maharani. Perbaikan gizi banget. ^_^
Artikel ini flash-back dari salah satu guru Bahasa Inggris SMAN Sumsel saat ini, M. Agus Salim. Iya, mahasiswa SEP 18 bulan yang lalu itu kini officially registered as one of the English teachers in this internationally standardized boarding school, SMAN Sumatera Selatan.